Total Tayangan Halaman

Kamis, 09 Desember 2010

Di Ujung Gaun Malam

“Malam ini aku ingin dada ibuku!” katanya mendorong dadaku.
Ah, padahal aku hanya ingin memeluknya, meredakan kegelisahan di hatinya. Fran, bocah lelaki empat belas tahun ini seperti tak bisa mengerti, bahwa ibunya tak bisa selalu ada untuknya.
“Malam ini Ibu pulang pagi lagi…” bisiknya lirih, sarat gundah di matanya.
“Ibumu melakukan semua itu juga untukmu, Fran.”
“Tapi apa harus menjadi pelacur? Ibu ‘kan bisa jadi apa saja selain pelacur. Aku ingat, Ibu bisa nyetir mobil dengan hebat. Ibu juga pintar masak. Ibu bisa jadi penyanyi, pelukis, Ibu bisa jadi apa saja dan tidak harus jadi pelacur seperti ini!”
“Ya, ibumu perempuan yang hebat.”
“Dan kamu? Apa yang kamu lakukan di sini? Kamu mencintai ibuku, heh?”
“Eh, aku…?”


“Ya, kamu mencintai ibuku tapi kamu tidak punya keberanian dan keyakinan untuk bisa membahagiakannya.”
“Sebenarnya tidak seperti itu, Fran…”
“Lantas seperti apa? Kamu ingin bilang karena kamu hanya seorang kuli bangunan dan mantan narapidana? Jika kamu bisa membangun ratusan rumah untuk orang lain, kenapa kamu tidak bisa membangun satu rumah untuk perempuan yang kamu cintai?”
“Fran, kamu hanya bocah lelaki empat belas tahun. Kamu tidak tahu apa-apa tentang hal itu! Kamu sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu bicarakan!”
“Aku hanya ingin, kamu tahu, Niel? Aku ingin sebuah keluarga. Cuma itu…” Fran menyeka lelehan air mata di pipinya. Untuk bocah lelaki empat belas tahun, dia anak yang cukup tegar menghadapi lika-liku garis jalan di hidupnya.
“Niel?”
“Ya?”
“Bisakah kamu membuat ibuku berhenti menjadi seorang pelacur? Maukah kamu melakukannya?”
Hening.
Aku tak tahu harus bicara apa. Aku tak tahu harus melakukan apa. Lebih dari itu aku tak tahu, apakah ibu Fran, Emelie mencintaiku atau tidak. Pertanyaan Fran adalah pertanyaan sederhana, namun begitu sulit untuk kujawab.
“Niel?” Panggil Fran lagi karena melihat aku hanya diam untuk beberapa waktu.
“Entahlah, Fran. Aku tak tahu harus memulainya dari mana”
Fran diam.
“Sudahlah, Fran. Lain kali kita bicarakan ini. Malam sudah cukup larut. Besok pagi kamu harus ke sekolah, kan?” Fran tak menjawab, hanya menganggukkan kepalanya dengan lemah.
* * *
Aku keluar dari rumah Emelie dan meninggalkan Fran sendirian di rumah itu. Pertanyaan Fran terus terngiang-ngiang di telingaku dan berputar-putar di kepalaku. Aku terus berjalan membelah malam dan aku melihat tak begitu banyak bintang di langit. Aku bahkan bisa menghitungnya di dalam hatiku. Aku tak ingat kapan pertama kalinya menghitung bintang di langit menjadi kebiasaanku. Tapi aku suka. Benar-benar suka. Seperti sedang menghitung mempi-mimpi yang datang menghampiri atau pergi menjauhi.
Aku ingat. Pertemuan pertamaku dengan Emelie juga adalah ketika tak begitu banyak bintang di langit dan aku sedang menghitungnya di dalam hatiku. Seorang perempuan menabrakku dengan keras. Benar-benar tabrakan yang keras, sampai-sampai ulu hatiku terasa sakit.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak bisa melihat aku sedang berjalan tergesa-gesa? Memangnya kamu sedang apa, heh?!” tanya perempuan ini dengan intonasi suaranya yang tinggi.
“Aku sedang menghitung bintang…” jawabku sekenanya, dan mungkin terdengar sedikit bloon.
“Apa? Sebelum kamu menghitung bintang di langit, hitung dulu berapa lembar uang yang ada di kantongmu, mungkin dengan begitu kamu bisa bercinta denganku semampu kamu!”
Aku diam. Mulutku setengah terbuka. Aku merasa sedikit bingung. Mungkin karena kata-katanya yang begitu cepat dengan intonasi suara yang tinggi, mengingatkan aku pada senapan mesin yang sedang memuntahkan pelurunya.
“Aneh, ada-ada saja. Di tengah malam seperti ini malah menghitung bintang. Benar-benar tak berguna,” kata perempuan ini lagi setelah mengumpulkan barang-barang bawaannya yang tadi terjatuh. Dan ketika aku melihatnya hendak pergi, aku bingung, aku merasa sayang jika perempuan ini pergi begitu saja tanpa sempat aku ketahui apa-apa tentangnya. Paling tidak aku harus tahu namanya.
“Bagaimana kalau aku bilang, jika aku bisa menghitung bintang di langit maka aku juga bisa menghitung bekas luka di hatimu?” tanyaku datar. Aku bahkan merasa kaget sendiri. Dari mana aku dapatkan kata-kata itu, jeritku dalam hati.
Perempuan ini menghentikan langkahnya yang ingin pergi meninggalkanku. Matanya menatap mataku sedalam yang dia bisa. Lalu katanya,
“Kamu tak akan pernah bisa menghitung bekas-bekas luka di hatiku, karena luka di hatiku setiap hari berganti warna. Bahkan ada luka baru yang terus tumbuh di atas luka lama, seperti luka-luka itu tak pernah mau berhenti dan berakhir. Tak pernah berkesudahan. Lantas dari mana kamu akan menghitungnya, Laki-laki?” tanya perempuan ini dengan suaranya yang tiba-tiba berubah lirih. Aku rasa, tanpa aku sadari, aku telah menjadikan pembicaraan yang tak sengaja ini serius.
“Niel. Panggil aku Niel…” kataku singkat, tak menjawab pertanyaannya.
“Niel? Kamu hanya membuat hariku yang sudah buruk menjadi lebih buruk lagi,” ujar perempuan ini seraya membalikkan badan dan pergi meninggalkanku.
“Hei? Kamu tidak bisa begitu!” kataku sambil berusaha menyejajari langkahnya.
“Tentu saja aku bisa!” ucap perempuan ini tanpa menghentikan langkah kakinya.
“Tapi kita baru kenal, bagaimana bisa aku menjadikan hari kamu begitu buruk? Bahkan aku belum tahu namamu, Perempuan!” Tiba-tiba saja aku jadi sedikit kesal. Entah kenapa.
“Karena kamu sangat mirip dengan seorang laki-laki yang begitu tolol di masa laluku!” kata perempuan ini dan dia menghentikan langkahnya. Matanya menatap mataku tajam.
“Tolol?” Ttnyaku dengan nada yang sedikit bodoh.
“Ya, tolol! Dulu aku mengenal seorang laki-laki yang suka menghitung bintang di langit dan bahkan mencoba menghitung luka di hatiku sekaligus menyembuhkannya dan laki-laki itu benar-benar laki-laki yang tolol!” Perempuan ini bicara dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Namun begitu aku tak ingin hanyut. Lalu kataku,
“Kalau begitu katakan, apakah laki-laki tolol ini boleh mengetahui namamu, Perempuan?”
“Apa yang kamu punya, Laki-laki? Karena aku seorang pelacur…” tanyanya dengan mata yang tiba-tiba berubah redup.
“Aku akan memberitahu kamu berapa jumlah bintang di langit yang tadi kuhitung sebelum kamu menabrakku. Bagaimana? Tertarik?” tanyaku dengan nada yang polos. Aku berharap banyak dari pertanyaan ini. Karena bagaimanapun juga, perempuan ini adalah pelacur paling indah yang pernah kulihat seumur hidupku.
“Tolol…!” ucapnya sambil melangkahkan kakinya lagi.
“Tolol? Itu nama kamu? Ah, nama yang unik…” kataku mengikuti langkahnya.
“Namaku Emelie. Sekarang kamu bisa pergi meninggalkanku, bukan?”
“Biarkan aku menjadi laki-laki tolol kedua yang mencoba menyembuhkan luka-luka di hatimu, Emelie…”
“Kamu tak akan bisa…”
“Biarkan aku mencobanya!”
“Kamu tak tahu apa-apa tentang aku…”
“Biarkan aku tahu, oke?”
“Aku perempuan yang susah diatur.”
“Aku laki-laki yang tidak suka mengatur.”
“Aku pelacur.”
“Aku perampok.”
“Serius?”
“Dulu…”
“Sekarang?”
“Kuli bangunan.”
“Berapa rumah yang sudah kamu bangun?”
“Banyak. Ratusan. Entahlah. Aku tak pernah menghitungnya.”
“Saat ini ada rumah yang sedang kamu bangun?”
“Ada. Bukan rumah, tapi istana.”
“Istana? Serius? Di mana?”
“Di dalam hatimu…”
“Apakah akan cukup? Hatiku sangat sempit, banyak dipenuhi kenangan dan dosa masa lalu…”
“Kalau begitu jangan istana, sebuah pondok kecil saja…”
“Kamu laki-laki tolol…”
“Lebih tolol mana dengan laki-laki yang dulu kamu kenal?”
“Masih tolol kamu. Kamu yang paling tolol…”
“Apa itu sebuah pujian?”
“Memangnya apa yang kamu harapkan?”
“Entahlah, sebuah ciuman mungkin…”
“Itu terlalu cepat.”
“Bagaimana jika terlambat?”
“Konyol…”
“Kenapa kamu menghentikan langkahmu?” tanyaku pelan.
“Karena aku telah sampai di depan rumahku.”
Sebuah rumah sederhana berdiri diatas halaman yang tak begitu luas. Jarak rumahnya dengan rumah-rumah yang lainnya tidak terlalu dekat. Ada seorang bocah yang sedang berdiri didepan pintu, hanya saja aku tak tahu apakah dia bocah laki-laki atau perempuan karena lampu didepan rumah ini tidak terlalu terang. Aku baru bisa melihatnya ketika dia berjalan menghampiri aku dan Emelie. Ternyata bocah laki-laki.
“Kenapa kamu belum juga tidur, Fran? Ibu ‘kan sudah bilang, jangan tunggu Ibu,” kata Emelie dengan nada suara yang begitu lembut. Aku melihat Fran, bocah lelaki belasan tahun itu menunggu ibunya dengan kecemasan yang tersirat dari matanya yang memerah karena menahan kantuk.
* * *
Itulah awal perkenalanku dengan Emelie dan Fran. Setelah dua tahun lebih mengenal Emelie, aku belum tahu apakah Emelie mencintaiku atau tidak, aku tak berani menanyakannya. Hanya saja pertanyaan Fran yang seperti permintaan itu kembali mengusik pikiranku.
“Bisakah kamu membuat ibuku berhenti menjadi seorang pelacur? Maukah kamu melakukannya?”
Pertanyaan Fran itu terus terngiang-ngiang di telinga dan berputar-putar di kepalaku. Hingga aku sampai di rumah kontrakanku dan terbaring di atas ranjangku yang sering berderak bila aku bergerak sedikit saja, pertanyaan Fran itu terus datang berulang-ulang. Sudah dua tahun berjalan dari hari pertama dimana aku mengatakan ingin membangun istana atau pondok kecil di kedalaman hati Emelie, namun sampai sekarang aku belum mendirikan apa-apa. Bahkan memancangkan tiang pertama saja juga belum. Pikiranku kalut dan semua hal-hal yang berbau buruk masuk dan mengendap di dalam otakku. Ah, aku rasa aku akan kembali menjadi Niel yang dulu. Ya, Niel si Perampok. Karena Niel si Kuli Bangunan tak bisa membangun apa-apa untuk perempuan yang dicintainya dan seorang bocah lelaki empat belas tahun yang disayanginya.
* * *
Angin dingin pada malam jam dua belas. Taman ini telah sepi, aku masih menunggumu. Lampu taman begitu redup, buram dan tersengal. Kuremas jari, kugigit bibir dan kutelan ludah, apa saja, untuk mengusir rasa khawatir jika kamu tak datang. Aku meringis. Entah kenapa aku mencintai laki-laki sepertimu, Niel.
“Ini yang terakhir, Emelie. Besok tak akan ada lagi orang yang memanggilku perampok dan kamu tak perlu lagi melayani laki-laki tengik! Janji!”
Kuelus perutku yang sedikit buncit, benih yang kamu siramkan berkali-kali sebelum kamu berjanji. Semoga besok tak ada kabar di koran-koran yang mengatakan kamu ditangkap dan ditembak mati.

di kutip dari kumpulan cerita pendek, cerpen by khafi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar